Harapan
dibebankan kedunia pendidikan untuk membangun sikap anti korupsi, membangun
sikap amanah (trust).
Tuntutannya,
sistem pendidikan harus dibenahi agar dapat menjawab permintaan tersebut.
Pertanyaannya apakah pendidikan di Indonesia siap untuk itu?
Pendidikan
suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus
terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu
bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Ki Hajar Dewantara menyatakan
bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti
(kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan
alam dan masyarakatnya. Mohammad Natsir dalam tulisannya Idiologi Didikan
Islam, menyatakan pendidikan satu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kepada
kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dalam arti sesungguhnya. Dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 3 bahwa
pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Dalam
teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan pendidikan.
Pertama, ranah kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi
informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif
dan mensintesakan ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan
aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau
menolak sesuatu. Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk
melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan
lain-lain. Dari ketiga ranah pendidikan tersebut idealnya harus selaras dan
saling melengkapi. Tetapi kenyataannya hubungan antara perubahan sikap
(afektif) dan meningkatnya ilmu pengetahuan (kognitif) secara statistik
cenderung berdiri sendiri. Maka dari ketiga unsur pencapaian pendidikan itu,
idealnya harus dilakukan secara terpadu (integral) sehingga tercapai tujuan
proses pendidikan yang diinginkan dan akan jelas ke mana pendidikan itu akan
diarahkan. Namun kenyataanya kecenderungan dan pencapaian pendidikan sudah jauh
bergeser dari tujuan idealnya.
Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan
kreatifitas. Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, harus menjadi
tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah, karena itu
pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian,
yaitu pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal
(masyarakat), yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Oleh karena itu,
sasaran yang ingin dicapai dari pendidikan adalah pembentukan aspek kognitif
(intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik
(skill/keterampilan). Maka idealnya, pembentukan aspek kognitif menjadi tugas
dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah, pembentukan aspek efektif
menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua, dengan membangun kepribadian dan
kebiasaan. Sedangkan, pembentukan aspek psikomotorik menjadi tugas dan tanggung
jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus, dan sejenisnya). Dengan adanya
pembagian tugas seperti ini, maka masalah pendidikan anti korupsi sebenarnya
menjadi tanggung jawab semua pihak: orangtua, pendidik (guru), dan masyarakat.
Dalam
pendidikan keluarga, mengupayakan pendidikan moral seperti agama, budi pekerti,
etika, dan sejenisnya, menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua. Ayah maupun
ibu harus melatih anak-anaknya untuk jujur dalam melakukan berbagai hal,
khususnya yang menyangkut dengan uang. Kejujuran merupakan prinsip dasar dalam
pendidikan anti korupsi. Katakan saja, kalau seorang ayah atau ibu menyuruh
anaknya untuk belanja sesuatu ke warung, dia harus diajarkan mengembalikan uang
sisa belanja tersebut dan tidak boleh mengantongi uang sisa belanja tersebut
untuk dirinya sendiri. Intinya kita sebagai orangtua harus menanamkan kejujuran
pada anak. Hal ini dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP)
Meutia Hatta kepada wartawan di sela-sela bakti sosial menyambut Hari Ibu
ke-80, di Jakarta.
Kita
harus dan berani membentuk sikap anti korupsi sejak dini dan dimulai dari
pendidikan keluarga. Hal ini jelas merupakan tindakan yang patut dan harus
didukung, sebab internalisasi sikap dan kebiasaan anti korupsi dapat saja lewat
penegakan hukum maupun pendidikan yang bernilai preventif dan edukatif. Maka
arah dari semua langkah itu adalah membangun kultur perlawanan terhadap budaya
korupsi yang dimulai dari pendidikan keluarga, dengan sifat menciptakan efek
jera, menebarkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran, budaya tanggung
jawab dan berupaya untuk mencegah agar para calon pelaku korupsi takut untuk
berbuat serupa.
Pendidikan
di sekolah, mengembangkan pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi)
menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah. Maka untuk
mewujudkan pendidikan anti korupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan
pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada
kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan
kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran
moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari
proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action. Ketiganya
harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan
potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek
kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan
yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat.
Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan
mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain. Keecerdasan
sosial, yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman,
senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan
spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh
Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar,
ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan
kinestetik, adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga
kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya. Maka sosok
manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap
menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.
Pendidikan
di sekolah harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses moral
knowing, moral feeling, hingga moral action. Kenapa, karena pendidikan memiliki
peran yang strategis dalam mendukung dan bahkan mempercepat pembentukan
masyarakat berkeadaban, memiliki kemampuan, keterampilan, etos, dan motivasi
untuk berpartisifasi aktif secara jujur dalam masyarakat. Dalam konteks ini,
menurut penulis dalam pendidikan di sekolah, perlu membangun ”kantin kejujuran”
di sekolah-sekolah, tidak hanya berkesan simbolik, atau bersifat basah basih,
tetapi harus dirancang dengan muatan sifat edukasi yang dikemukan di atas.
Mungkin saja, eksistensinya mungkin terlalu kecil di tengah gelombang ”budaya
korupsi” dan ”erosi kejujuran” yang melanda dan mendera bangsa ini. Tapi bila
semua proses pendidikan dan pengajaran sekolah-sekolah di seluruh Indonesia
membudayakan gerakan yang sama, maka lamban atau cepat manfaat besar dari
proses pendidikan ini akan sama-sama dirasakan. Secara teknis, pada ”kantin
kejururan” di sekolah, tiap pembeli atau siswa boleh mengambil barang apa pun
di kantin tersebut, membayarnya, dan mengambil sendiri uang pengembaliannya.
Tidak ada penjual atau penjaga yang mengawasi, sehingga kalau seseorang mau
bersikap tidak jujur dengan mengambil tanpa membayar atau membayar semaunya
saja, tidak akan ada orang yang tahu. Yang dibutuhkan adalah mendengarkan suara
atau kata hati nurani, dengan merasa tanpa diawasi oleh siapapun, maka hati dan
tindakannya tetap harus mewujudkan sikap jujur. Dengan demikian ukuran sukses
atau tidaknya tujuan kantin tersebut akan terlihat dari neraca keuangannya,
apakah secara bisnis bisa berjalan terus atau bangkrut. Hal ini sebagai salah
satu upaya untuk menanamkan dan membentuk perilaku anti korupsi sejak dini.
Maka melalui kebiasaan dan pemberian contoh, para siswa akan belajar untuk
bersikap jujur, kerja keras, disiplin, berani, tanggung jawab, mandiri,
sederhana, adil, dan peduli, sehingga diharapkan akan terbentuk karakter anti
korupsi.
Proses
percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan.
Artinya, lebih dari itu harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan
antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Harus dibangun kesadaran yang
mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan korupsi. Maka munculnya
wacana dan kesadaran moral untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke
segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, selain melalui mekanisme hukum,
juga membangun filosofi baru berupa penyamaan nalar dan nilia-nilai baru yang
bebas korupsi melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal itu
dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun
sikap anti korupsi. Karena, hakekat pendidikan adalah suatu proses
menumbuhkembangkan eksistensi peserta-didik yang memasyarakat, membudaya, dalam
tata kehidupan bermasyarakat.
Kata
Antasari Azhar, bahwa kebiasaan korupsi sepertinya telah mendarah daging di
Indonesia. Agar tak ikut arus, pendidikan anti korupsi harus diberikan sejak
dini. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pun berniat akan mengundang anak-anak
yang duduk di sekolah dasar untuk belajar anti korupsi di kantornya. Menurutnya
pendidikan anti korupsi sejak dini ini penting. Kita akan undang ke KPK untuk
diberi pendidikan itu, katanya. Hal itu dikatakannya di hadapan siswa-siswi
Sekolah Darurat Kartini di kawasan Jakarta Utara, Kamis (6/11/2008). Rencana
ini, katanya akan menjadi salah satu program KPK ke depan. Anak-anak yang
diundang, tidak hanya mereka yang menempuh pendidikan formal saja, tapi juga
pendidikan informal. Korupsi dapat berdampak ke banyak bidang termasuk
pendidikan. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun miris ketika masuk dan
melihat Sekolah Darurat Kartini dan menyatakan apa ini akibat korupsi?
Pendidikan
anti korupsi harus diberikan melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai
moral bebas korupsi di sekolah, sehingga generasi baru Indonesia diharapkan
dapat memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik
korupsi. Ketua MPR Hidayat Nurwahid, menyatakan bahwa pendidikan perlu
dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti korupsi sejak dini.
Pendidikan anti korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat
menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup
generasi sebelumnya. Tapi hanya saja memberikan pendidikan anti korupsi bukan
hal mudah. Sebab, bahkan lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari
dunia pendidikan yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau
paradigma berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk sekolah-sekolah
di negeri ini. Misalnya guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan
pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi,
seperti korupsi waktu, korupsi materi pelajaran yang diberikan,. korupsi berupa
absen mengajar tanpa izin kelas. Hal-hal yang dilakukan itu, juga dapat memicu
praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.
Demikianlah
tradisi korupsi yang kronis di negeri ini. Marilah kita berbuat, meskipun masih
dalam batas yang kecil-kecilan, tapi yang penting memang itulah yang baru mampu
kita lakukan. Maka langkah untuk menangani korupsi melalui sistem pendidikan
yang akan berdampak besar dalam kehidupan manusia Indonesia. Dengan pendidikan
anti korupsi, diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang memiliki
kecintaan terhadap bangsa dan negara, memiliki prilaku yang baik, bermoral,
berakhlakul karimah dan memiliki keimanan yang kuat. Sejak dini para murid
mulai diperkenalkan dan mempelajari betapa menarik dan buruknya dunia
perkorupsian di Indonesia dalam mata pelajaran Anti-Korupsi. Maka, dalam mata
pelajaran Anti-Korupsi, para murid dapat membahas tentang bahaya korupsi,
isu-isu terkini seputar korupsi, siapa saja pejabat yang terlibat dalam kasus
korupsi, dan siapa saja yang sudah diputuskan bersalah. Maka dari pendidikan
Anti-Korupsi, target yang diharapkan adalah bagaimana menanamkan sebuah pola
pikir dan sikap kepada masyarakat Indonesia terutama para pelajar sebagai
calon-calon pemimpin untuk ”mengharamkan” dan bahkan pada sikap ”membenci”
suatu perbuatan atau perilaku yang dinamakan dengan tindakan korupsi.
Selain
itu, dalam proses pembelajaran sikap pengajar harus terbuka, jujur, tidak
melakukan tindakan-tindakan pengurangan waktu, tidak korupsi materi pelajaran
yang diberikan, tidak korupsi absen mengajar tanpa izin kelas, dan sebagainya
Bangunlah sistem pendidikan sebagai proses penyadaran potensi kejujuran,
pendidikan hendaknya sebagai media penyadaran dari negara dan masyarakat yang
memiliki kemampuan lebih. Sehingga munculkan peserta didik dari proses
penyadaran itu. Tapi janganlah jadikan proses pendidikan sebagai media
investasi dari peserta didik, apa lagi para penyelenggara pendidikan
mendapatkan keuntungan finansial dari investasi peserta didik. Maka apabila
sumber daya manusia yang lahir dari proses pendidikan seperti itu, setelah
mendapatkan peluang kerja ia pun akan bekerja untuk mencari keuntungan demi
mengembalikan investasi yang telah ia keluarkan selama dalam proses pendidikan.
Bahkan investasi yang ia telah keluarkan itu harus mendapatkan keuntungan yang
lebih. Jika sumber daya manusia itu tidak memiliki fondasi iman, akhlak, dan
mental yang kuat, maka korupsi pun akan dilakukan, karena mengais atau mencari
rezeki secara benar, halal, dan wajar untuk mengembalikan investasi yang telah
ia keluarkan dalam proses pendidikan tidak didapatkannya.
Lahirlah
manusia yang tidak amanah (trust), tidak dapat dipercaya dari prodak pendidikan
yang mengkodisikannya seperti itu. Jika prodak pendidikan, rakyat dan atau
masyarakat yang tidak amanah, sulit dipercaya, tidak jujur, negara akan hancur.
Analog di atas diberikan untuk menggambarkan ”kantin” sebagai sebuah negara.
Jika pembelinya tidak membayar sesuai kewajibannya, maka modal yang dimiliki
tentu akan tergerogoti. Maka kekayaan dalam bangunan sebuah negara akan habis
jika ketidakjujuran yang merupakan basis sikap korup terjadi merajalela.
Bermacam jalan telah ditempuh untuk membangun kejujuran yang bertaut dengan
menebar budaya malu. Di antara beragam kreasi elemen rakyat yang peduli, maka
”kantin kejujuran” merupakan ungkapan perlawanan terhadap korupsi secara
edukatif. Maka sebenarnya para pelaku korupsi, atau mereka yang berada dalam
lingkaran kekuasaan mestinya tersentuh ketika anak-anak muda sekarang ini telah
mengembangkan penalarannya sendiri untuk membangun budaya jujur, budaya malu,
dan budaya anti korupsi. Mereka tengah mengasah bahasa hati, bahasa nurani, dan
bahasa kejujuran. Maka disadari atau tidak, itulah sumbangsih para remaja untuk
menyelamatkan Indonesia, dari kebungkrutan karena ulah para koruptor.
Harapan
mulai dibebankan kedunia pendidikan untuk membangun sikap anti korupsi,
membangun sikap amanah (trust). Tuntutannya, sistem pendidikan harus dibenahi agar
dapat menjawab permintaan tersebut. Pertanyaannya apakah pendidikan di
Indonesia siap untuk itu? Sebab realitas dalam dunia pendidikan di Indonesia,
masih banyak terjadi tindak penyimpangan dalam proses yang dapat dikatakan
sebagai indikator rendahnya sikap amanah (trust) atau tindak korupsi. Katakan
saja dalam dunia pendidikan, muncul dan terjadi tindak pemalsuan ijazah,
penjualan ijazah, pembocoran soal, penjualan soal, terjadi penjualan nilai,
terjadi manipulasi nilai, tradisi nyontek di kalangan siswa/mahasiswa, plagiasi
makalah atau tugas-tugas mahasiswa, skripsi, tesis, disertasi, dan lain-lain,
juga merupakan beberapa indikator lainnya dari rendahnya sikap amanah (trust).
Kasus di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu, kita mendengar beribu ”ijazah
aspal” (asli tapi palsu) yang dikeluarka beberapa institusi pendidikan.
Fenomena semacam ini sangat memilukan dan menyedihkan dunia pendidikan dan
merupakan tantangan yang perlu segera dijawab oleh lembaga pendidikan itu
sendiri, sehingga dapat membangun masyarakat yang memiliki sikap amanah (trust)
yang tinggi.
Pendidikan
di masyarakat, mengembangkan pendidikan keterampilan (skills), perilaku
(behavior), pembentukan kebiasaan (habit formation), pemberian contoh atau
pemodelan (social learning) dalam kehidupan di masyarakat. Cara-cara inilah
yang harus dibiasakan dan di internalisasikan dalam kehidupan di lingkungan
masyarakat, dilembaga-lembaga sosial masyarakat, lembaga-lembaga sosial
keagama, di rumah-rumah ibadah, sehingga terbangun social-capital yang kokoh.
Inti dari social-capital adalah trust (sikap amanah), atau masyarakat yang
saling percaya dan dapat dipercaya, karena memiliki sikap jujur dan bertanggung
jawab. Menurut pengamatan sementara ahli, bahwa dalam bidang social capital
bangsa Indonesia ini hampir mencapai titik zero trust society, atau masyarakat
yang sulit dipercaya, artinya sikap amanah (trust) sangat lemah. Sebagai salah
satu indikatornya, hasil survey the Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) tahun 2004, indeks korupsi di Indonesia sudah mencapai 9,25 atau ranking
pertama se Asia, bahkan pada tahun 2005 indeksnya meningkat sampai 9,4. Memang
setelah diteliti, ternyata benar bahwa telah terjadi tindak korupsi
bermiliar-miliar atau bahkan trilyunan rupiah di berbagai instansi dan
institusi.
Pendidikan
anti-korupsi bagi masyarakat, untuk membrantas korupsi membutuhkan waktu
beberapa generasi. Itu pun kalau ada program yang dilakukan secara konsisten.
Katakan saja, untuk menghentikan kebiasaan merokok saja tidak gampang, apalagi
korupsi. Korupsi sudah sedemikian ”menggurita” dalam birokrasi negara dan telah
membudaya dalam kehidupan masyarakat. Paling dirugikan adalah rakyat banyak dan
di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari
akses kekuasaan. Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban
melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk
tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh
untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk
memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai.
Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol
publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan
partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.
Maka
untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat, diperlukan
partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik
bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik
memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja
ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak
akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol
publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya
parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton;
“Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu
memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya
terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak
dilakukan. Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang
dijadikan isu dan komoditas politik, sehingga korupsi dikonstruksi menjadi
masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral kejujuran.
Dalam
keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi harus
dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya
mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, sebab masyarakat yang sadar
jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau
tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh atau ”tepoliro” terhadap segala
bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik atau
siapa saja yang melakukan korupsi. Sebab sikap masa bodoh dan ”teposliro” ini
adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi dan dianggap sebagai perbuatan
biasa saja. Oleh karena itu, upaya mendidik, memberdayakan, dan membangkitkan
kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu
yang mendesak dilakukan. Karena warga masyarakat yang sadar dan memiliki
pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat pengting bagi
usaha menekan derasnya arus korupsi. Dengan demikian kuncinya adalah perlunya
pendidikan anti-korupsi bagi siswa, mahasiswa, dan masyarakat umumnya, agar ”melek”
terhadap korupsi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan atau
pembelajaran anti-korupsi yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis,
mulai dari pendidikan informal keluarga dirumah, pendidikan formal di sekolah,
dan pendidikan nonformal di masyarakat, dapat mencegah, mengurangi, dan bahkan
memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya.
0 komentar:
Posting Komentar