Sejarah
perkembangan bangsa dan negara manapun, senantiasa mengalami pasang surut,.
Bisa saja berupa kejayaan, namun juga kehancuran. Kehancuran pemerintahan dan
negara selalu diawali dengan ketidakmampuan negara dalam mengelola dan
membangun sistem pemerintahan yang kuat dan bersih. Disamping itu juga faktor
rendahnya sumberdaya manusia (SDM).
Berkaca
dari pengalaman dan kejadian masa lalu, seyogyanya bangsa ini melakukan
intropeksi dan berbenah diri secara arif dan cerdas. Agar tidak semakin terpuruk
dalam jurang kemiskinan, kebodohan dan jumlah hutang yang semakin membengkak
setiap tahunnya.
Seiring
dengan perubahan yang terjsadi yang terjadi pada bangsa Indonesia, dan
reformasi sebagai alternatif pilihan terbaik, keterpurukanpun belum berkahir.
Mulai dari menurunnya kualitas SDM karena banyaknya anak bangsa yang
berkualitas tidak mampu mengenyam pendidikan secara layak serta rendahnya
produktivitas kerja.
Sebut
saja munculnya kasus kriminalisasi KPK, yang melibatkan petinggi Polri
serta petinggi kejaksaan yang dengan
mudahnya diatur oleh seorang yang bernama Anggodo. Kasus Hambalang, oknum DPR
pemeras BUMN, simulator dan plat nomor di satlantas Polri yang mencapai ratusan
milyar. Bahkan yang lebih memprihatinkan Al Qur’an saja dikorupsi. Semua menunjukkan
keironisan dan sudah menjadi rahasia umum yang tak terbantahkan. Anehnya semua
ini memperoleh dukungan yang sama dari kelakuan elit politik dan penegak hukum.
Terbukti
dari data Transparansi Internasioanal Indonesia/ TII (Suprapto, 2009) pada tahun
2007 mengenai korupsi di negara kita menunujukkna intitusi Kepolisisan,
Parlemen, Lembaga Peradilan dan Partai Politik menduduki lembaga terkorup.
Menariknya pada tahun 2012, Lembaga Kemenag RI dan BPN dianggap KPK belum
sungguh-sungguh melkukan reformasi birokrasi secara baik. Semestinya
lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut menjadi energi pnggerak pemeberantasan
korupsi.
Bermula
dari guru
Berkaca
dari berbagai kejadian di atas, amk dunia pendidikan harus segera mengimbangi
dengan bergerak cepat. Gerak cepat yang dimaksud adalah melakukan kegiatan,
program mempersiapkan anak-anak bangsa ini menjadi manusia yang memiliki
integritas. Hal ini perlu dipersiapkan guna mempersiapkan generasi penerus
bangsa yang di kemudian hari menjadi pemegang kendali kekuasaan.
Memang
untuk mengatasi korupsi yang sudah mendarah daging bukan hal yang mudah seperti
membalikkan kedua telapak tangan. Sebut saja upaya KPK dan Kejaksaan yang
membuat pilot project kantin kejujuran di lembaga-lembaga pendidikan. Sekalipun
secara empiris belum diperoleh data efektifitas dan keberhasilan untuk mendidik
siswa bermental anti korupsi. Tetapi ini lbih baik dan merupakan solusi jangka
pendek.
Di
samping mendidik korupsi pada murid-muridjuga harus didukung didukung oleh
sebuah lingkungan (atmosfer) yang jujur pula. sikap jujur ini berlaku mulai
dari tukang kebun sampai pada kepala sekolah. Karena sebagus dan secanggih
apapun integrasi pembudayaan anti korupsi pada mata pelajaran (kurikulum)
disusun, isi pembelajarannya tidak berdaya guna apabila budaya lingkungan tidak
tercipta. Mengingat korupsi merupakan sikap (domain afektif) siswa yang tidak
dapat dicermati dengan mata telanjang ataupun dengan rumus dan angka-angka,
maka yang dibutuhkan adlah keteldanan (transfer of value), kepastian sanksi,
bukan semat mata pengajaran teori (transfer of knowledge).
Peran
Penting Sekolah
Pembudayaan
mental anti korupsi sejak didi di sekolah adalah sesuatau yang sangat penting.
Karena pendekatan secara ini lebih efektif menekan perilaku korupsi pada kurun
waktu yang akan datang. Sehingga ada secercah harapan di kemudian hari, muncul
banyak generasi muda yang memeiliki mental dan budaya anti korupsi. Tentu saja,
pembiasaan-pembiasaan iu harus dibarengi dengan sikap dan keteladanan.
Penelitian
Lowson (2004) mengindikasikan murid atau pelajar yang melakukan ketidakjujuran
akademik cenderung akan melakukan ketidakjujuran di lingkungan kerja/ sikap
bohong, tidak jujur, mengeksploitasi orang lain, secara psikologis harus
dianggap sebagai hal yang serius. Apabila hal-hal tersebut tumbuh dan
berkembang sejak dini dalam lingkungan sosial-sekolah yang menganggap wajar, maka ini akan diserap
murid sebagai sesuatau yang ditoleransi oleh budaya. Tentu pembudayaan mental
anti korupsi di sekolah terancam gagal.
Untuk
itu, selama sekolah-sekolah belum segera menerapkan budaya prisnsip-prisnip
kedisiplinan serta kepastian sanksi yang sepadan terhadap perilaku-perilaku
tidak terpuji. Serta tidak didorong oleh atmosfer lingkungan dan nilai-nilai
budaya keteladanan, jangan terlampau berharap besar pada keberhasilan dan
tumbuhnya mental anti korupsi pada generasi penerus bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar