Berbagai
macam upaya dilakukan pemerintah untuk memberantas praktik-praktik korupsi yang
sangat parah terjadi di negeri ini. Aksen plan yang dilakukan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, misalnya, untuk memberantas korupsi sampai perlu dibuat
Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Hanya,
proses itu cenderung mendapat keluhan atau tanggapan negatif dari beberapa
kalangan. Mereka beranggapan bahwa mengakarnya mafia peradilan yang bercokol di
tingkat kejaksaan dan kepolisian semakin membuat proses penegakan hukum menjadi
pesimistis.
Tak
Membalik Telapak
Siapa
pun harus mengakui bahwa proses percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti
membalik telapak tangan. Lebih dari itu, harus ada kerja-kerja keras yang
spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Juga harus
dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan
korupsi.
Kini
muncul wacana dan kesadaran moral bahwa untuk memberantas korupsi yang sudah
menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat negeri ini, selain melalui
mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyemaian nalar dan
nilia-nilai baru bebas korupsi melalui pendidikan formal.
Hal
itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam menyemai
pendidikan dan sikap antikorupsi. Melalui pembelajaran sikap mental dan
nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, generasi baru Indonesia diharapkan
memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi.
Ketua
MPR Hidayat Nurwahid berpendapat bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan
diinternalisasikan dengan nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Pendidikan
antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi
muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya.
Gagasan
yang kali pertama dilontarkan Koalisi Antarumat Beragama (KAUB) itu perlu
diapresiasi secara elegan sehingga akan terbangun sebuah sinergi atau garis
demarkasi yang secara riil dapat meminimalisasi praktik korupsi di negeri
Indonesia.
Hanya,
memberikan pendidikan antikorupsi bukan hal mudah. Persoalannya, korupsi sering
dianggap bukan hal yang paling krusial untuk diberantas.
Bahkan,
lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan yang
cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma berperilaku
jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk, di sekolah-sekolah di negeri ini.
Misalnya,
guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal
kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi waktu.
Korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal itu juga dapat memicu
praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.
Pengenalan
Bentuk Korupsi
Terlepas
dari apakah pendidikan juga mengalami distorsi makna dan fungsi, yang jelas
pendidikan tentang filosofi bebas korupsi dan antisegala bentuk praktik korupsi
-terutama di sekolah- tetap perlu dikenalkan dan ditanamkan.
Penciptaan
virus baru antikorupsi perlu diakumulasikan dengan penyebaran dari pelbagai
macam lini, baik kultural, ekonomi, maupun sosiopolitik.
Dengan
demikian, virus nilai-nilai antikorupsi diharapkan dapat menjadi benteng kukuh
dalam melakukan perubahan mendasar untuk memerangi segala macam korupsi di
negeri ini. Pemetaan penyebaran virus antikorupsi dalam pendidikan harus
dilakukan secara masif.
Pakar
pendidikan J. Drost, S.J. selalu menampik tujuan utama sekolah adalah mendidik.
Artinya, yang ingin diperjelas di sini bahwa antara pengajaran dan pendidikan
sering tidaklah sama.
Akan
tetapi, banyak orang yang mencampur aduk dan menganggap sama. Itulah
kerancuannya. Tugas utama dan terutama sekolah adalah pengajaran, bukan
pendidikan. Tugas pengajaran yang dilakukan sekolah dalam proses
belajar-mengajar adalah membantu anak mengembangkan kemampuan intelektual yang
dimilikinya.
Sementara
itu, pendidikan dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai ke dalam budi
anak-anak. Sebenarnya, hal tersebut merupakan tugas utama orang tua, sekolah
hanya membantu.
Dari
ungkapan itu, kita dapat mengambil beberapa kerangka berpikir yang mendasar dan
lebih mendalam bahwa penyebaran virus antikorupsi jangan hanya berhenti pada
ranah sekolah atau perguruan tinggi.
Lebih
jauh dari itu, orang tua dan keluarga juga harus ikut berperan serta dalam
menyemaikan virus antikorupsi. Dengan kata lain, seharusnya pendidikan
antikorupsi sudah dimulai dari lingkungan keluarga. Keluargalah yang harus
turut aktif menanamkan nilai-nilai moral bebas korupsi.
Jika
hal itu terbangun, akan terjadi sinergi yang saling mengisi. Proses tersebut
akan mengakselerasikan pemberantasan segala macam bentuk praktik korupsi di
lingkungan keluarga masing-masing
0 komentar:
Posting Komentar