Ketua
KPK (komisi pemberantasan korupsi) RI Dr Abraham Samad SH MH dalam suatu
talkshow di salah satu stasiun televisi swasta, mengatakan bahwa harapannya
suatu saat nanti generasi bangsa Indonesia ketika ditanya apa itu korupsi? Dia
akan bingung dan balik bertanya, korupsi itu apa? Apakah salah satu nama
makanan? Masyarakat tidak akan lagi mengenal yang namanya korupsi, apalagi
melakukannya.
Harapan
ketua KPK tersebut hanya bisa terwujud apabila generasi sekarang di didik untuk
membenci, memusuhi bahkan jijik terhadap perilaku korup. Sejak dikeluarkannya
Inpres (Instruksi Presiden) Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 dan
dilanjutkan dengan Inpres No 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi, sampai sekarang gaungnya terdengar tapi aksinya tidak
terasa.
Padahal
dalam Inpres tersebut salah satu strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi
adalah melalui Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi. Kemdikbud dan KPK pun sudah
melakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU) tentang kerja sama
dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan salah satu bentuk penerapan
kerja sama ini adalah pendidikan anti korupsi di sekolah. Karena sekolah adalah
ujung tombak proses pendidikan dan budaya anti korupsi.
Korupsi
berasal dari bahasa Latin coruptio dan corruptus yang berarti kerusakan atau
kebobrokan. Dalam bahasa Yunani
corruptio perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak
bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, materil,
mental, dan umum. Korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang No 31
Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang No 20 Tahun 2001, merupakan
tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain
(perseorangan atau korporasi), yang secara langsung maupun tidak langsung
merugikan keuangan atau perekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan
itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat.
Pada
perkembangannya korupsi sudah menjelma menjadi gurita yang menjerat setiap
sendi kehidupan sosial. Oleh karena itu korupsi termasuk extraordinary crime
atau kejahatan luar biasa.
Lembaga
pendidikan harus berfungsi efektif sebagai benteng pertama dalam memberantas
perilaku korup. Setiap jenjang pendidikan (dari usia dini sampai tinggi) harus
istiqomah dalam penerapannya. Harapannya dengan pendidikan anti korupsi yang
berkelanjutan selama belasan tahun, generasi mendatang akan terbudaya
berperilaku mulia dan jijik dengan perilaku korup. Sebaik apapun kinerja KPK
bahkan walau kita punya 10 lembaga KPK, kalau tidak ditopang sistem pendidikan
anti korupsi sedari dini, maka KPK hanya akan jadi tukang tangkap dan
penjarakan orang. Bisa-bisa planet ini akan penuh dengan penjara.
Pendidikan
anti korupsi di sekolah dimaksudkan agar mencegah meluasnya penyakit korup
kepada anak-anak yang suci dan bersih. Ada sedikitnya sembilan nilai-nilai anti
korupsi yang harus segera disuntikkan kepada anak didik di sekolah sebagai
vaksin anti korupsi. Kesembilan nilai itu antara lain, kejujuran, anak di
ajarkan untuk tidak mengambil mainan milik teman atau mengakui barang yang
bukan kepunyaannya. Biasakan selalu minta ijin atau meminjam barang temannya
dan mengembalikannya dalam kondisi yang sama, disini terdapat nilai tanggung
jawab. Dan apabila menghilangkan barang temannya dia akan berkata “maaf” dan
mengakui kesalahannya, ini cerminan sifat berani dan berintegritas. Anak juga
dibiasakan untuk tidak membeda bedakan teman dan mau berbagi dengan temannya.
Ini akan menumbuhkan sifat adil dan kepedulian terhadap orang lain. Disisi lain
anak didik harus terbiasa dengan aturan dan tata tertib sehingga anak akan
terpola mental disiplin dan kerja keras. Anak didik juga harus diharuskan
jangan berpakaian mencolok atau bergaya yang berlebihan (perhiasan, sepatu, hp,dll)
agar sifat sederhana dan toleran tumbuh subur dalam diri anak. Masih banyak
nilai-nilai anti korupsi lain yang bisa dikembangkan disekolah.
Tetapi
untuk mencetak generasi bebas korupsi tidak mungkin apabila “tukang cetak” nya
tidak bersih juga. Model pembelajaran yang aplikatif ini juga memerlukan
keteladanan tenaga pendidiknya, karena guru inilah yang nantinya dijadikan
acuan bagi peserta didik dalam menerapkan pemahaman pendidikan anti korupsi
dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh
karena itu, lagi-lagi yang menjadi guru haruslah manusia setengah malaikat.
Punya integritas, perilaku yang teruji dan terpuji. Untuk mendapatkan kriteria
ideal seperti itu memang tidak cukup guru hanya di rekrut dengan tes tertulis.
Harus ada passing grade untuk nilai kognitif ,moral dan tes kejiwaan kalau
perlu. Jangan hanya karena ada formasi yang disediakan, misal di cari guru 20
orang, lalu yang mendaftar hanya 20 maka walau hasil tes nol besar sekalipun
tetap di angkat jadi guru.
Apakah sekolah-sekolah
sekarang sudah menerapkan pendidikan anti korupsi? Indikatornya bukan hanya
sekolah itu menyediakan porsi 2 jam pelajaran/minggu untuk PAK (pendidikan anti
korupsi) tetapi juga menginternalisasikan nilai-nilai anti korupsi. Atau malah
sekolah sudah menjadi tempat untuk mencetak koruptor intelektual. Bagaimana
tidak, kalau di sekolah anak didik di sajikan perilaku tidak disiplin, suka
berpikir instan, malas, suka membohongi anak didik, jam karet dan bergaya hidup
hedonis. Berarti disadari atau tidak kita sudah menumbuhkan benih-benih
perilaku korup pada anak didik.
0 komentar:
Posting Komentar